Kamis, 28 Juni 2012

Sunnahnya Membaca Qunut Subuh

A. Hukum Membaca Qunut Subuh


Di dalam madzab syafii sudah disepakati bahwa membaca doa qunut dalam shalat subuh pada I’tidal rekaat kedua adalah sunnah ab’ad. Sunnah Ab’ad artinya diberi pahala bagi yang mengerjakannya dan bagi yang lupa mengerjakannya disunnahkan menambalnya dengan sujud  syahwi.
Tersebut dalam Al majmu’ syarah muhazzab jilid III/504 sebagai berikut :
“Dalam madzab syafei disunnatkan qunut pada waktu shalat subuh baik ketika turun bencana atau tidak. Dengan hukum inilah berpegang mayoritas ulama salaf dan orang-orang yang sesudah mereka. Dan diantara yang berpendapat demikian adalah Abu Bakar as-shidiq, Umar bin Khattab, Utsman bin affan, Ali bin abi thalib, Ibnu abbas, Barra’ bin Azib – semoga Allah meridhoi mereka semua. Ini diriwayatkan oleh Baihaqi dengan sanad yang shahih. Banyak pula orang tabi’in dan yang sesudah mereka berpendapat demikian. Inilah madzabnya Ibnu Abi Laila, Hasan bin Shalih, Malik dan Daud.”
Dalam kitab al-umm jilid I/205 disebutkan bahwa Imam syafei berkata :
“Tidak ada qunut pada shalat lima waktu selain shalat subuh. Kecuali jika terjadi bencana, maka boleh qunut pada semua shalat jika imam menyukai”.
Imam Jalaluddin al-Mahalli berkata dalam kitab Al-Mahalli jilid I/157 :
“Disunnahkan qunut pada I’tidal rekaat kedua dari shalat subuh dan dia adalah “Allahummahdinii fiman hadait….hingga akhirnya”.
Demikian keputusan hokum tentang qunut subuh dalam madzab syafii.

B. Dalil-Dalil Kesunattan qunut subuh


Berikut ini dikemukakan dalil dalil tentang kesunnatan qunut subuh yang diantaranya adalah sebagai berikut :
  1. Hadits dari Anas ra.“Bahwa Nabi saw. pernah qunut selama satu bulan sambil mendoakan kecelakaan atas mereka kemudian Nabi meninggalkannya.Adapun pada shalat subuh, maka Nabi melakukan qunut hingga beliau meninggal dunia”
    Hadits ini diriwayatkan oleh sekelompok huffadz dan mereka juga ikut meriwayatkannya dan mereka juga ikut menshahihkannya. Diantara ulama yang mengakui keshahihan hadis ini adalah Hafidz Abu Abdillah Muhammad ali al-balkhi dan Al-Hakim Abu Abdillah pada beberapa tempat di kitabnya serta imam Baihaqi. Hadits ini juga turut di riwayatkan oleh Darulquthni dari beberapa jalan dengan sanad-sanad yang shahih.
    حدثنا عمرو بن علي الباهلي ، قال : حدثنا خالد بن يزيد ، قال : حدثنا أبو جعفر الرازي ، عن الربيع ، قال : سئل أنس عن قنوت (1) النبي صلى الله عليه وسلم : « أنه قنت شهرا » ، فقال : ما زال النبي صلى الله عليه وسلم يقنت حتى مات قالوا : فالقنوت في صلاة الصبح لم يزل من عمل النبي صلى الله عليه وسلم حتى فارق الدنيا ، قالوا : والذي روي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قنت شهرا ثم تركه ، إنما كان قنوته على من روي عنه أنه دعا عليه من قتلة أصحاب بئر معونة ، من رعل وذكوان وعصية وأشباههم ، فإنه قنت يدعو عليهم في كل صلاة ، ثم ترك القنوت عليهم ، فأما في الفجر ، فإنه لم يتركه حتى فارق الدنيا ، كما روى أنس بن مالك عنه صلى الله عليه وسلم في ذلك وقال آخرون : لا قنوت في شيء من الصلوات المكتوبات ، وإنما القنوت في الوتر
    Dikatakan oleh Umar bin Ali Al Bahiliy, dikatakan oleh Khalid bin Yazid, dikatakan Jakfar Arraziy, dari Arrabi’ berkata : Anas ra ditanya tentang Qunut Nabi saw bahwa apakah betul beliau saw berqunut sebulan, maka berkata Anas ra : beliau saw selalu terus berqunut hingga wafat, lalu mereka mengatakan maka Qunut Nabi saw pada shalat subuh selalu berkesinambungan hingga beliau saw wafat, dan mereka yg meriwayatkan bahwa Qunut Nabi saw hanya sebulan kemudian berhenti maka yg dimaksud adalah Qunut setiap shalat untuk mendoakan kehancuran atas musuh musuh, lalu (setelah sebulan) beliau saw berhenti, namun Qunut di shalat subuh terus berjalan hingga beliau saw wafat. (Sunan Imam Baihaqi Alkubra Juz 2 hal 211 Bab Raf’ul yadayn filqunut, Sunan Imam Baihaqi ALkubra Juz 3 hal 41, Fathul Baari Imam Ibn Rajab Kitabusshalat Juz 7 hal 178 dan hal 201, Syarh Nawawi Ala shahih Muslim Bab Dzikr Nida Juz 3 hal 324, dan banyak lagi).
  2. Hadits dari Awam Bin Hamzah dimana beliau berkata : “Aku bertanya kepada Utsman –semoga Allah meridhoinya-  tentang qunut pada Subuh. Beliau berkata : Qunut itu sesudah ruku. Aku bertanya :” Fatwa siapa?”, Beliau menjawab : “Fatwa Abu Bakar, Umar dan Utsman Radhiyallahu ‘anhum”.
    Hadits ini riwayat imam Baihaqi dan beliau berkata : “Isnadnya Hasan”. Dan Baihaqi juga meriwayatkan hadits ini dari Umar Ra. Dari beberapa jalan.
  3. Hadits  dari Abdullah bin Ma’qil at-Tabi’i “Ali Ra. Qunut pada shalat subuh”.
    Diriwayatkan oleh Baihaqi dan beliau berkata : “Hadits tentang Ali Ra. Ini shahih lagi masyhur.
  4.  Hadits dari Barra’ Ra. : “Bahwa Rasulullah Saw. melakukan qunut pada shalat subuh dan maghrib”. (HR. Muslim).
  5.  Hadits dari Barra’ Ra. : “Bahwa Rasulullah Saw. melakukan qunut pada shalat subuh”. (HR. Muslim).

    Hadits no. 4  diriwayatkan pula oleh Abu Dawud dengan tanpa penyebutan shalat maghrib. Imam Nawawi dalam Majmu’ II/505 mengatakan : “Tidaklah mengapa meninggalkan qunut pada shalat maghrib karena qunut bukanlah sesuatu yang wajib atau karena ijma ulama menunjukan bahwa qunut pada shalat maghrib sudah mansukh hukumnya”.
  6.  Hadits dari Abi rofi’ “Umar melakukan qunut pada shalat subuh sesudah ruku’ dan mengangkat kedua tangannya  serta membaca doa dengn bersuara”. (HR Baihaqi dan ia mengatakan hadis ini shahih).
  7.  Hadits dari ibnu sirin, beliau berkata :
  8. “Aku berkata kepada anas : Apakah Rasulullah SAW. melakukan qunut pada waktu subuh? Anas menjawab : Ya, begitu selesai ruku”. (HR. Bukhary Muslim).
  9.  Hadits dari Abu hurairah ra. Beliau berkata :
    “Rasulullah Saw. jika beliau mengangkat kepalanya dari ruku pada rekaat kedua shalat subuh beliau mengangkat kedua tangannya lalu berdoa : “Allahummah dini fii man hadait ….dan seterusnya”. (HR. Hakim dan dia menshahihkannya).
  10.  Hadits dari  Hasan bin Ali bin Abi Thalib ra. Beliau berkata :
    “Aku diajari oleh rasulullah Saw. beberapa kalimat yang aku ucapkan pada witir yakni :  Allahummah dini fii man hadait ….dan seterusnya” (HR Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai dan selain mereka dengan isnad yang shahih)
  11. Hadits  dari Ibnu Ali bin  Thalib ra. (Berkaitan dengan hadist no. 8)
    Imam Baihaqi meriwayatkan dari Muhammad bin Hanafiah dan beliau adalah Ibnu Ali bin  Thalib ra. Beliau berkata :
    “Sesungguhnya doa ini adalah yang dipakai oleh bapakku pada waktu qunut diwaktu shalat subuh” (Al-baihaqi II/209).
  12.  Hadits  dari Ibnu Ali bin  Thalib ra. (Berkaitan dengan hadist no. 8)
    Imam Baihaqi meriwayatkan dari Muhammad bin Hanafiah dan beliau adalah Ibnu Ali bin  Thalib ra. Beliau berkata : “Sesungguhnya doa ini adalah yang dipakai oleh bapakku pada waktu qunut diwaktu shalat subuh” (Al-baihaqi II/209).
  13.   Hadist doa qunut subuh dari Ibnu Abbas ra. :
    Tentang doa qunut subuh ini, Imam baihaqi juga meriwayatkan dari beberapa jalan yakni ibnu abbas dan selainnya:
    “Bahwasanya Nabi Saw. mengajarkan doa ini (Allahummah dini fii man hadait ….dan seterusnya) kepada para shahabat agar mereka berdoa dengannya pada waktu qunut di shalat subuh” (Al-baihaqi II/209).
     
Demikianlah Beberapa Dalil yang dipakai para ulama-ulama shlusunnah dari madzab syafiiyah berkaitan dengan fatwa mereka tentang qunut subuh.
Dari sini dapat dilihat keshahihan hadis-hadisnya karena dishahihkan oleh Imam-imam hadits ahlusunnah yang terpercaya. Hati-hati dengan orang-orang khalaf akhir zaman yang lemah hafalan hadisnya tetapi mengaku ahli hadis dan banyak mengacaukan hadis-hadis seperti mendoifkan hadis shahih  dan sebaliknya.

C. Tempat Qunut Subuh dan nazilah adalah Sesudah ruku rekaat terakhir.

Tersebut dalam Al-majmu Jilid III/506 bahwa : “Tempat qunut itu adalah sesudah mengangkat kepala dari ruku. Ini adalah ucapan Abu Bakar as-shidiq, Umar bin Khattab dan Utsman serta Ali ra.hum.
Mengenai Dalil-dalil qunut sesudah ruku :
  1. Hadits dari Abu Hurairah :  “Bahwa Nabi Qunut sesungguhnya sesudah ruku” (HR. Bukhary muslim).
  2. Hadits dari ibnu sirin, beliau berkata : “Aku berkata kepada anas : Apakah Rasulullah SAW. melakukan qunut pada waktu subuh? Anas menjawab : Ya, begitu selesai ruku”. (HR. Bukhary Muslim). 
  3. Hadis dari Anas Ra.
    “Bahwa Nabi Saw. melakukan qunut selama satu bulan sesudah ruku pada subuh sambil mendoakan kecelakaan keatas bani ‘ushayyah” (HR. Bukhary Muslim).
  4. Hadits Dari Awam Bin hamzah dan Rofi yang sudah disebutkan pada dalil 4 dan 5 tentang kesunnatan qunut subuh.
  5. Riwayat Dari Ashim al-ahwal dari Anas Ra. :
    “Bahwa Anas Ra. Berfatwa tentang qunut sesudah ruku”.
  6. Hadits dari Abu hurairah ra. Beliau berkata :
    “Rasulullah Saw. jika beliau mengangkat kepalanya dari ruku pada rekaat kedua shalat subuh beliau mengangkat kedua tangannya lalu berdoa : “Allahummah dini fii man hadait ….dan seterusnya”. (HR. Hakim dan dia menshahihkannya).
  7. Hadits Riwayat dari Salim dari Ibnu umar ra.
    “Bahwasanya ibnu umar mendengar rasulullah SAW apabila beliau mengangkat kepalanya dari ruku pada rekaat terakhir shalat subuh, beliau berkata : “Ya Allah laknatlah sifulan dan si fulan”, sesudah beliau menucapkan sami’allahu liman hamidah. Maka Allah menurunkan Ayat: “Tidak ada bagimu sesuatu pun urusan mereka itu atau dari pemberian taubat terhadap mereka karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang dzalim “ (HR Bukhary).
    Terlihat jelas Bahwa pada qunut nazilah maupun qunut subuh, dilakukan setalah ruku. Adapun ada riwayat yang menyatakan sebelum ruku, Imam Baihaqi mengatkan dalam kita Al-majmu :
    “Dan orang-orang yang meriwayatkan qunut sesudah ruku lebih banyak dan lebih kuat menghafal hadis, maka dialah yang lebih utama dan inilah jalanya para khalifah yang memperoleh petunjuk – radhiyallahu ‘anhum- pada sebagian besar riwayat mereka, wallahu a’lam”.
D. Jawaban untuk orang-orang yang membantah sunnahnya qunut subuh
  1. Ada yang mendatangkan Hadits bahwa  Ummu salamah  berkata :“Bahwa Nabi Saw. melarang qunut pada waktu subuh “ (Hadis ini Dhoif). Jawaban : Hadist ini dhaif karena periwayatan dari Muhammad bin ya’la dari Anbasah bin Abdurahman dari Abdullah bin Nafi’ dari bapaknya dari ummu salamah. Berkata darulqutni :”Ketiga-tiga orang itu adalah lemah dan tidak benar jika Nafi’ mendengar hadis itu dari ummu salamah”. Tersebut dalam mizanul I’tidal “Muhammad bin Ya’la’ diperkatakan oleh Imam Bukhary bahwa ia banyak menhilangkan hadis. Abu hatim mengatakan ianya matruk” (Mizanul I’tidal IV/70). Anbasah bin Abdurrahman menurut Imam Baihaqi hadisnya matruk. Sedangkan Abdullah adalah orang banyak meriwayatkan hadis mungkar. (Mizanul I’tidal II/422).
  2. Ada yang mengajukan Hadis bahwa  Ibnu Abbas ra.  Berkata : “Qunut pada shalat subuh adalah Bid’ah” Jawaban : Hadis ini dhaif sekali (daoif jiddan) karena imam Baihaqi meriwayatkannya dari Abu Laila al-kufi dan beliau sendiri mengatakan bahwa hadis ini tidak shahih karena Abu Laila itu adalah matruk (Orang yang ditinggalkan haditsnya). Terlebih lagi pada hadits yang lain Ibnu abbas sendiri mengatakan :“Bahwasanya Ibnu abbas melakukan qunut subuh”.
  3. Ada juga yang mengetangahkan riwayat Ibnu mas’ud yang mengatakan :“Rasulullah tidak pernah qunut didalam shalat apapun”. Jawaban : Riwayat ini menurut Imam Nawawi dalam Al majmu sangatlah dhoif karena perawinya terdapat Muhammad bin Jabir as-suhaili yang ucapannya selalu ditinggalkan oleh ahli hadis. Tersebut dalam mizanul I’tidal karangan az-zahaby bahwa Muhammad bin jabir as-suahaimi adalah orang yang dhoif menurut perkataan Ibnu Mu’in dan Imam Nasa’i. Imam Bukhary mengatakan:  “ia tidak kuat”. Imam Ibnu Hatim mengatakan : “Ia dalam waktu akhirnya menjadi pelupa dan kitabnya telah hilang”. (Mizanul I’tidal III/492). Dan juga kita dapat menjawab dengan jawaban terdahulu bahwa orang yang mengatakan “ada” lebih didahulukan daripada yang mengatakan “tidak ada” berdasarkan kaidah “Al-mutsbit muqaddam alan naafi”.
  4. Ada orang yg berpendapat bahawa Nabi Muhammad saw melakukan qunut satu bulan shj berdasarkan hadith Anas ra, maksudnya:“Bahawasanya Nabi saw melakukan qunut selama satu bulan sesudah rukuk sambil mendoakan kecelakaan ke atas beberapa puak Arab kemudian baginda meninggalkannya.” Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim. Jawaban : Hadith daripada Anas tersebut kita akui sebagi hadith yg sahih kerana terdapat dlm kitab Bukhari dan Muslim. Akan tetapi yg menjadi permasalahan sekarang adalah kata:(thumma tarakahu= Kemudian Nabi meninggalkannya). Apakah yg ditinggalkan oleh Nabi itu? Meninggalkan qunutkah? Atau meninggalkan berdoa yg mengandungi kecelakaan ke atas puak-puak Arab? Untuk menjawab permasalahan ini lah kita perhatikan baik2 penjelasan Imam Nawawi dlm Al-Majmu’jil.3,hlm.505 maksudnya:
    “Adapun jawapan terhadap hadith Anas dan Abi Hurairah r.a dlm ucapannya dengan (thumma tarakahu) maka maksudnya adalah meninggalkan doa kecelakaan ke atas orang2 kafir itu dan meninggalkan laknat terhadap mereka shj. Bukan meninggalkan seluruh qunut atau meninggalkan qunut pada selain subuh. Pentafsiran spt ini mesti dilakukan kerana hadith Anas di dlm ucapannya ’sentiasa Nabi qunut di dlm solat subuh sehingga beliau meninggal dunia’
    adalah sahih lagi jelas maka wajiblah menggabungkan di antara kedua-duanya.”

    Imam Baihaqi meriwayatkan dan Abdur Rahman bin Madiyyil, bahawasanya beliau berkata, maksudnya:
    “Hanyalah yg ditinggalkan oleh Nabi itu adalah melaknat.”
    Tambahan lagi pentafsiran spt ini dijelaskan oleh riwayat Abu Hurairah ra yg berbunyi, maksudnya:
    “Kemudian Nabi menghentikan doa kecelakaan ke atas mereka.”
    Dengan demikian dapatlah dibuat kesimpulan bahawa qunut Nabi yg satu bulan itu adalah qunut nazilah dan qunut inilah yg ditinggalkan, bukan qunut pada waktu solat subuh.
  5. Ada juga orang-orang yg tidak menyukai qunut mengemukakan dalil hadith Saad bin Thariq yg juga bernama Abu Malik Al-Asja’i, maksudnya: “Dari Abu Malik Al-Asja’i, beliau berkata: Aku pernah bertanya kpd bapaku, wahai bapa! sesungguhnya engkau pernah solat di belakang Rasulullah saw, Abu Bakar, Usman dan Ali bin Abi Thalib di sini di kufah selama kurang lebih dari lima tahun. Adakah mereka melakukan qunut?. Dijawab oleh bapanya:”Wahai anakku, itu adalah bid’ah.” Diriwayatkan oleh Tirmizi.
    Jawaban :
    Kalau benar Saad bin Thariq berkata begini maka sungguh menghairankan kerana hadith2 tentang Nabi dan para Khulafa Rasyidun yg melakukan qunut banyak sangat sama ada di dlm kitab Bukhari, Muslim, Ibnu Majah, Abu Daud, Nasa’i dan Baihaqi.
    Oleh itu ucapan Saad bin Thariq tersebut tidaklah diakui dan terpakai di dalam mazhab Syafie dan juga mazhab Maliki.
    Hal ini disebabkan oleh kerana beribu-ribu orang telah melihat Nabi melakukan qunut, begitu pula sahabat baginda. Manakala hanya Thariq seorang shj yg mengatakan qunut itu sebagai amalan bid’ah.
    Maka dalam masalah ini berlakulah kaedah usul fiqh iaitu:
    “Almuthbitu muqaddimun a’la annafi”
    Maksudnya: Orang yg menetapkan lebih didahulukan atas orang yg menafikan.
    Tambahan lagi orang yg mengatakan ADA jauh lebih banyak drpd orang yg mengatakan TIDAK ADA.
    Seperti inilah jawapan Imam Nawawi didlm Al-Majmu’ jil.3,hlm.505, maksudnya:
    “Dan jawapan kita terhadap hadith Saad bin Thariq adalah bahawa riwayat orang2 yg menetapkan qunut terdapat pada mereka itu tambahan ilmu dan juga mereka lebih banyak. Oleh itu wajiblah mendahulukan mereka”
    Pensyarah hadith Turmizi yakni Ibnul ‘Arabi juga memberikan komen yang sama terhadap hadith Saad bin Thariq itu. Beliau mengatakan:”Telah sah dan tetap bahawa Nabi Muhammad saw melakukan qunut dlm solat subuh, telah tetap pula bahawa Nabi ada qunut sebelum rukuk atau sesudah rukuk, telah tetap pula bahawa Nabi ada melakukan qunut nazilah dan para khalifah di Madinah pun melakukan qunut serta Sayyidina Umar mengatakan bahawa qunut itu sunat, telah pula diamalkan di Masjid Madinah. Oleh itu janganlah kamu tengok dan jgn pula ambil perhatian terhadap ucapan yg lain daripada itu.”
    Bahkan ulamak ahli fiqh dari Jakarta yakni Kiyai Haji Muhammad Syafie Hazami di dalam kitabnya Taudhihul Adillah ketika memberi komen terhadap hadith Saad bin Thariq itu berkata:
    “Sudah terang qunut itu bukan bid’ah menurut segala riwayat yg ada maka yg bid’ah itu adalah meragukan kesunatannya sehingga masih bertanya-tanya pula. Sudah gaharu cendana pula, sudahh tahu bertanya pula”
    Dgn demikian dapatlah kita fahami ketegasan Imam Uqaili yg mengatakan bahawa Abu Malik itu jangan diikuti hadithnya dlm masalah qunut.(Mizanul I’tidal jil.2,hlm.122). 
  6.  Kelompok anti madzab katakan : Dalam hadis-hadis yang disebutkan diatas, qunut bermakna tumaninah/khusu’?
    Jawab : Dalam hadis2 yang ada dlm artikel salafytobat smuanya berarti seperti dalam topik yang dibicarakan “qunut” = berdoa pada waktu berdiri (setelah ruku)…
    qunut dalam hadis-hadis tersebut  bukan berati tumaninah atau ruku.!!!
    Mengenai hadis “qunut” yang bermakna tumaninah/khusu/dsb
    Diriwayatkan dari Jabir Ra. katanya Rasulullah saw. bersabda :  afdlalu shshalah thuululqunuut
    artinya : “shalah yg paling baik ialah yang paling panjang qunutnya “
    Dalam menjelaskan ayat alqur’an :
    “Dan berdirilah karena Allah (dalam shalatmu) dalam keadaan “qanitiin” (al-baqarah 238) (HR Ibnu abi syaibah, muslim, tirmidzi, Ibnu Majah seperti dalam kitan Duurul mantsur).
    Mujtahid Rah. maksud qanitiin disini termasuklah ruku, khusyu, rekaat yang panjang/lama berdiri, mata tunduk kebawah, takut kepada Allah swt.
    Makna qanitiin juga berarti diam atau senyap. Sebelum turun ayat ini , masih dibolehkan  berbicara dalam shalat, melihat keatas, kebawah, kesana-kemari, dsb…(lihat hadist bukhary muslim). Setelah turun ayat ini, perkara-perkara tersebut tidak dibolehkan. (Duurul mantsur)
E. Pendapat Imam Madzab tentang qunut

1. Madzab Hanafi :
Disunatkan qunut pada shalat witir dan tempatnya sebelum ruku. Adapun qunut pada shalat subuh tidak disunatkan. Sedangkan qunut Nazilah disunatkan tetapi ada shalat jahriyah saja.
2. Madzab Maliki :
Disunnatkan qunut pada shalat subuh dan tempatnya yang lebih utama adalah sebelum ruku, tetapi boleh juga dilakukan setelah ruku. Adapun qunut selain subuh yakni qunut witir dan  Nazilah, maka keduanya dimakruhkan.
3. Madzab Syafii
Disunnatkan qunut pada waktu subuh dan tempatnya sesudah ruku. Begitu juga disunnatkan qunut nazilah dan qunut witir pada pertengahan bulan ramadhan.
4. Madzab Hambali
Disunnatkan qunut pada shalat witir dan tempatnya sesudah ruku. Adapun qunut subuh tidak disunnahkan. Sedangkan qunut nazilah disunatkan dan dilakukan diwaktu subuh saja.
Semoga kita dijadikan oleh Allah asbab hidayah bagi kita dan ummat seluruh alam.

Sumber:
http://salafytobat.wordpress.com/

Amalan-Amalan Bulan Rajab dan Nishfu Sya’ban


Setelah ada keterangan sebelum ini mengenai cara memperingati hari-hari Allah swt. dan lain sebagainya didalam bab Maulidin (kelahiran) Nabi saw., maka kami ingin mengutip berikut ini kemuliaan bulan/malam nishfu Sya’ban dan bulan Rajab. Didalam Islam telah dikenal adanya hari-hari, bulan-bulan yang di muliakan oleh Allah swt. umpamanya hari Jum’at, bulan Ramadhan, bulan Haji dan lain sebagainya. Allah swt. akan lebih meluaskan Rahmat dan Karunia-Nya melebihi daripada hari-hari atau bulan-bulan biasa. Dengan demikian siapa yang beramal sholeh pada waktu-waktu tersebut lebih besar harapannya Allah swt. akan mengampunkan dosanya dan do’anya dikabulkan oleh-Nya

Amalan-amalan pada bulan Rajab
Alasan-alasan dan dalil-dalil yang telah dikemukakan untuk memperkokoh keabsahan kemuliaan, keutaman bulan dan malam nishfu Sya’ban, pada dasarnya memperkuat juga keabsahan kemuliaan dan keutamaan bulan Rajab. Lepas dari itu semua, kami ingin mengutip dan mengumpulkan ,secara singkat, riwayat-riwayat mengenai kemuliaan dan amalan pada bulan Rajab berikut ini. Keterangan yang muktamad tentang bulan Rajab adalah bahwa bulan itu termasuk bulan-bulan yang dihormati dan dimuliakan, atau dalam Al-Qur’an di sebut sebagai Asyhurul Hurum, yaitu, Dzul Qa’dah, Dzul Hijjah, Muhar- ram dan Rajab.
Dalam bulan tersebut, Allah swt. melarang peperangan dan ini merupakan tradisi yang sudah ada jauh sebelum turunnya syariat Islam. Allah swt berfirman dalam surat At-Taubah: 36 sebagai berikut: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu dalam bulan yang empat itu, dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya, dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa”.       

Didalam surat Al-Maidah:2, Allah swt.berfirman: “Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan jangan lah melanggar kehormatan bulan-bulan haram”.

Empat bulan haram itu di sebutkan juga dalam sabda Rasulullah saw. berikut ini: “Sesungguhnya zaman telah berputar seperti pada hari penciptaan langit dan bumi, setahun terdapat dua belas bulan dan empat di antaranya adalah bulan haram dan tiga diantaranya berturut-turut, yaitu dzul qa’dah, dzul hijjah, muharram dan rajab mudhar yang berada di antara jumadil awal, jumadil akhir dan sya’ban”.(HR.Bukhari dan Muslim).       

Imam al-Qurtubi didalam tafsir-nya bahwa Nabi saw. sendiri pernah menegaskan bahwa “bulan Rajab itu adalah bulan Allah, yaitu bulan Ahlullah. Dan di katakan penduduk (mukmin) Tanah Haram itu Ahlullah karena Allah yang memelihara dan memberi kekuatan kepada mereka”.(al-Qurtubi, Jami’ Ahkam al-Qur’an, juz.6, hlm 326).       

Bulan-bulan haram memiliki kedudukan yang agung, dan bulan Rajab termasuk salah satu dari empat bulan tersebut. Dinamakan bulan-bulan haram karena diharamkan nya berperang di bulan-bulan itu kecuali musuh yang memulai. Hadits dari Anas bin Malik r.a. berkata; “Bahwa Rasulullah saw. apabila masuk bulan Rajab selalu berdo’a, ‘Allahuma bariklana fii rajab wa sya’ban, wa balighna ramadan.’ Artinya, ‘ya Allah, berkahilah kami pada bulan Rajab dan Sya’ban; dan sampaikan kami ke bulan Ramadan’ “. (HR.Ahmad dalam Musnad-nya juz 1: 259 hadits no 2346 dan Tabrani). Hadits ini disebutkan dalam banyak keterangan, seperti dikeluarkan oleh Abdullah bin Ahmad di dalam kitab Zawaa’id al-Musnad (2346). Al-Bazzar didalam Musnadnya  –sebagaimana disebutkan dalam kitab Kasyf al-Astaar– (616); Ibnu As-Sunny didalam ‘Amal al-Yawm Wa al-Lailah (658); Ath-Thabarany didalam (al-Mu’jam) al-Awsath (3939). Kitab ad-Du’a’ (911). Abu Nu’aim didalam al-Hilyah (VI:269). Al-Baihaqy di dalam Syu’ab (al-Iman) (3534). Kitab Fadhaa’il al-Awqaat (14). Al-Khathib al-Baghdady di dalam al-Muwadhdhih (II:473).       

Diriwayatkan dari Mujibah al-Bahiliyah, Rasulullah bersabda; “Puasalah pada bulan-bulan haram (mulia)”. (Riwayat Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ahmad).       

Imam Ath-Thabrani meriwayatakan hadits dari Abu Hurairah ra “bahwa Nabi saw. tidak menyempurnakan puasa sebulan setelah Ramadhan kecuali pada Rajab dan Sya’ban.” (ibid, hlm 161 juz 9 hadits no. 9422).      

Al-Syaukani dalam Nailul Authar, (dalam pembahasan puasa sunat) sabda Nabi saw., ‘Bulan Sya’ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadan yang dilupakan kebanyakan orang’, itu secara implisit menunjukkan bahwa bulan Rajab juga disunnahkan melakukan puasa didalamnya. Ditulis juga oleh al-Syaukani, dalam Nailul Authar, bahwa Ibnu Subki meriwayatkan dari Muhamad bin Manshur al-Sam’ani yang mengatakan bahwa tidak ada hadits yang kuat (baca; lemah) yang menunjukkan kesunnahan puasa Rajab secara khusus. Disebutkan juga bahwa Ibnu Umar memakruhkan puasa Rajab (walau pun ia dibantah oleh Asma’ binti Abu Bakar), sebagaimana Abu Bakar al-Tarthusi yang mengatakan bahwa puasa Rajab adalah makruh, karena tidak ada dalil yang kuat. Namun demikian, sesuai pendapat al-Syaukani, bila semua hadits yang secara khusus menunjuk kan keutamaan bulan Rajab dan disunnahkan puasa didalamnya kurang kuat untuk dijadikan landasan, maka hadits-hadits yang umum (seperti yang tercantum diatas) itu cukup menjadi hujah atau landasan. Disamping itu, karena juga tidak ada dalil yang kuat yang memakruhkan puasa dibulan Rajab.       

Puasa/Shaum dibulan Rajab dibolehkan (ibahah) ber dasarkan hadits shahih.. Tetapi tidak satu pun dalil-dalil shahih dari Rasulallah saw. yang menentukan/ menetapkan tanggal-tanggal tertentu (seperti 1 Rajab, 17 Rajab, 27 Rajab, dan sebagainya), semua hadits berkenaan dengan tanggal-tanggal tersebut adalah dha’if atau maudhu’ sehingga tidak bisa dijadikan hujjah. Sebagian sahabat dan salafus-shalih memakruhkan jika berpuasa Rajab sebulan penuh dan sebagian lainnya tidak memakruhkannya.      

Hadits shahih tentang hal tersebut adalah; Imam Muslim meriwayatkan dalam shahih-nya: “Telah menceritakan pada kami Abubakar bin Abi Syaibah, telah menceritakan pada kami Abdullah bin Numairih, telah menceritakan pada kami Ibnu Numair, telah menceritakan pada kami ayah kami, telah mencerita kan pada kami Utsman bin Hakim Al-Anshari berkata: ‘Aku bertanya pada Sa’id bin Jubair tentang puasa Rajab dan kami saat itu sedang berada di bulan Rajab’, maka ia menjawab: Aku mendengar Ibnu Abbas berkata: ‘Adalah Nabi berpuasa (di bulan Rajab) sampai kami berkata nampaknya beliau akan berpuasa (bulan Rajab) seluruhnya, lalu beliau tidak berpuasa sampai kami berkata: Nampaknya beliau tidak akan berpuasa (bulan Rajab) seluruhnya’“. (Albani sendiri dalam Al-Irwa’ mengatakan: Hadits ini di-takhrij oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya (VI/139) dan Ahmad (I/26). Saya (Albani) katakan: Bahkan hadits ini juga di-takhrij oleh Imam Abu Ya’la dalam Al-Musnad (VI/156, no. 2547); Al-Baihaqi dalam Al-Kubra’ (IV/906); dan dalam Syu’abul Iman (VIII/316, no. 3638).

Kendati pun demikian, ada pula hadits-hadits lain yang memakruhkan berpuasa dibulan Rajab, jika berpuasa satu bulan penuh (Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman (VIII/330, no. 3653). Ibnu Umar termasuk yang memakruhkan berpuasa di bulan Rajab walau pun ia dibantah oleh Asma’ binti Abubakar (HR. Ahmad dalam Al-Musnad I/180, no. 176; Al-Baihaqi dalam Al-Kubra’ III/893). Diriwayatkan bahwa Umar bin Khaththab ra juga tidak menyukai puasa dibulan Rajab (namun kedudukan haditsnya diperbincangkan, karena ada Rijal yang tidak dikenal) (HR. At-Thabrani dalam Al-Ausath (XVI/427 no. 7851), tetapi Imam Al-Haitsami mengomentari hadits ini: “Dalam sanadnya ada Hasan bin Jablah dan aku tidak menemukan orang yang menyebutkan tentang siapa dia ini, selebihnya Rijal-nya Tsiqat.” (Majma’ Az-Zawa’id, III/191).       

Imam al-Baihaqi meriwayatkan dari Imam Syafi’i, berbunyi: “Telah sampai kepada kami bahwa Asy-Syafi’i mengatakan: ‘Sesungguhnya do’a itu mustajab pada lima malam: malam juma’at, malam ‘Idul Adha, malam ‘Idul Fithri, malam pertama bulan Rajab dan malam nisfu Sya’ban’ “. (al-Baihaqi, Sunan al-Kubra, 1994, Maktabah Dar al-Baz: Makkah al-Mukarramah, juz.3 hlm 319). Masih banyak hadits yang beredar mengenai beramal sholeh pada bulan Rajab dan Sya’ban yang tidak kami kemukakan disini.

Berdasarkan keterangan tadi, jelaslah kepada kita bahwa bulan Sya’ban dan bulan Rajab mempunyai dalil-dalil yang tersendiri. Sumber-sumber hukum Islam dan keterangan baik para ulama Salaf mau pun Khalaf telah memberitahu bahwa terdapat hadits-hadits yang shohih, hasan, mursal, marfu’, maudhu’, dhaif, dhaif jiddan (amat lemah) tentang amalan-amalan seputar bulan Sya’ban dan Rajab. Begitu juga banyak hadits yang beredar mengenai keutamaan bulan Sya’ban dan bulan Rajab.       
Oleh karenanya, kita tidak bisa pukul sama rata bahwa semua hadits tentang amalan ibadah pada bulan Sya’ban dan Rajab itu palsu, dhoif ….dan tidak ada yang shohih atau hasan. Setiap isu dan dalil harus dipahami secara menyeluruh lagi mendalam agar kita tidak tersesat dari landasan yang benar. Jangan lagi pada malam atau bulan-bulan yang dimuliakan oleh Allah swt. yang masih ada dalilnya, pada hari-hari biasa saja tidak ada larangan untuk sholat sunnah, puasa atau berdo’a kepada Allah swt., selama sholat sunnah (yang hanya berniat sholat saja) tidak dikerjakan pada waktu-waktu yang di makruhkan oleh agama (ump. seusai sholat Shubuh, seusai sholat ‘Ashar dan sebagainya yang disebutkan dalam kitab-kitab fiqih), begitu juga puasa sunnah (hanya berniat puasa saja) tidak boleh diamalkan pada hari-hari yang dilarang menurut ahli Fiqih. Karena firman Allah swt.; ‘Berdo’alah pada-Ku Aku akan mengabul- kannya” juga firman-Nya “Dirikanlah sholat untuk mengingatKu”. Dalam ayat ini tidak dibatasi lafadh do’a yang harus dibaca, begitu juga tidak dibatasi hanya sholat wajib saja. Sedangkan mengenai puasa sunnah (yang hanya berniat puasa saja) banyak hadits yang meriwayatkan.       

Semua ibadah yang diamalkan karena Allah swt. itu adalah baik, malah amalan-amalan yang dikerjakan pada zaman jahiliyyah pun bisa kita tiru kalau mengandung kebaikan dan tidak bertentangan dengan syari’at Islam. Sebagai contoh satu hadits yang diriwayatkan Al-Hakim dari Nubaisyah ra.; “Seorang lelaki bertanya kepada Nabi saw., ‘Wahai Rasulallah, kami memberi persembahan (kepada berhala) di zaman jahiliyah, apa yang harus dilakukan di bulan Rajab ini? Beliau saw. menjawab: ‘Sembelihlah binatang ternak karena Allah, dibulan apapun, lakukanlah kebaikan karena Allah dan berilah makanan’”.  Imam Al-Hakim mengatakan: ‘Isnad hadits ini adalah shohih tetapi tidak dikeluarkan oleh Imam Bukhari dan Muslim dalam shohih mereka berdua’. (Abu Abdillah al-Hakim, al-Mustadrak ala Sahihain, 1990, Cetakan pertama, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah : Beirut, juz 4, hlm 263).       

Misalnya ada hadits Nabi saw. –sudah tentu tidak mungkin– yang melarang umatnya berpuasa atau beramal sholeh di bulan Sya’ban dan Rajab, hadits ini akan diteliti betul-betul oleh para ulama, karena jelas bertentangan dengan hadits-hadits lain yang menganjurkan orang berpuasa dan sholat sunnah disamping yang wajib dan beramal sholeh setiap waktu!! Imam Syaukani sendiri dalam Nailul Authar berkata: “Tidak ada dalil yang kuat yang memakruhkan puasa dibulan Rajab begitu juga tidak ada hadits yang kuat (baca; lemah) yang menunjukkan kesunnahan puasa Rajab secara khusus”. Dengan demikian amalan ibadah puasa bulan Rajab serta amalan ibadah memperbanyak sholat sunnah atau berdzikir adalah amalan mubah, yang sudah pasti juga mendapat pahala dari Allah swt.. Karena semua amalan baik walau pun kecil pasti akan dicatat juga sebagai kebaikan, begitu juga amalan buruk walau pun kecil pasti akan dicatat juga sebagaik keburukan (Al-Zalzalah:7-8)! Begitu juga menurut kaidah ulama hadits yang dhoif boleh diamalkan bila mengandung Fadhail ‘Amal. Wallahu a’lam.     

Marilah kita semua tidak saling cela mencela sesama muslim hanya masalah amalan sunnah atau mubah. Orang yang tidak mau beramal pada bulan yang mulia itu juga tidak ada salahnya begitu pun juga orang yang ingin beramal pada bulan yang mulia itu akan mendapat pahala. Karena tidak ada satu amalan yang baik (sholat, berdzikir, berdo’a dan lain-lain) yang tidak diberi pahala oleh Allah swt. Hal ini banyak difirmankan oleh Allah swt. dan diriwayatkan dalam hadits Nabi saw. Yang tidak dibolehkan oleh syari’at ialah merubah atau menambah amalan-amalan pokok yang telah digariskan/ditetapkan oleh syariat agama. (Umpama sholat Shubuh sengaja 3 raka’at dll). Semoga dengan kutipan singkat dan sederhana mengenai bulan/nishfu Sya’ban atau bulan Rajab ini, bisa memberi manfaat bagi diri dan keluarga kami khususnya serta semua ummat muslimin, amin. Begitu juga dengan adanya firman-firman Allah swt. dan hadits Rasulallah saw.serta wejangan-wejangan para ulama pakar yang tertulis dibuku ini, kita bisa ambil kesimpulan bahwa semua perbuatan kebaikan, dengan cara bagaimanapun, asal tidak keluar dari syariat dan tidak merubah hukum-hukum pokok agama, itu adalah baik/mustahab apalagi yang mendatangkan mashlahat/kebaikan malah dianjurkan oleh agama.Dan yang penting lagi orang tidak mensyari’atkan/ mewajibkan amalan sunnah tersebut.       

Insya Allah, tidak ada nash/hukum yang jelas untuk mengharamkan atau melarang amal kebaikan yang telah kami kemukakan diwebsite ini malah sebaliknya cukup banyak dalil –baik secara langsung maupun tidak langsung– yang menganjurkan untuk beramal kebaikan. Arti atau makna yang dimaksud  kebaikan dalam agama itu luas sekali. Janganlah kita sendiri yang membatasinya, sehingga dengan mudah mengambil satu hadits tentang suatu amalan kemudian hadits ini digunakan dalil untuk melarang/ mengharamkan amalan lainnya!       

Insya Allah dengan adanya dalil-dalil di website ini, tentang suatu amalan yang telah diuraikan oleh ulama-ulama pakar berdasarkan ayat-ayat Ilahi dan hadits Nabi saw., kebingungan kita bisa teratasi. Dengan demikian amalan-amalan seperti; Tawassul, Tabarruk, kumpulan majlis dzikir, peringatan-peringatan keagamaan dan lain sebagainya bisa lebih lancar jalannya. Karena semua itu adalah sebagian dari syiar agama ! 


Bulan Sya’ban/malam nishfu Sya’ban
Bulan Sya’ban adalah termasuk bulan suci atau mulia dan cukup dikenal di kalangan kaum muslimin karena banyak riwayat hadits yang mengemukakan kemuliaan bulan tersebut.

Nama Sya’ban adalah salah satu nama bulan dari 12 bulan Arab lainnya yaitu satu bulan sebelum bulan Ramadhan. Sedangkan yang dimaksud nishfu (pertengahan) Sya’ban yaitu tanggal 15 bulan Sya’ban, sedangkan malam nishfu Sya’ban yaitu mulai waktu Maghrib pada tanggal 14 Sya’ban. Banyak hadits Hasan yang dipandang mu’tamad oleh para ulama pakar mengenai keutamaan bulan Sya’ban dan malam nishfu Sya’ban, diantaranya,  Hadits  dari ‘Aisyah:

  مَا رَأيْتُ رَسُوْل الله .صَ. : إسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍِ قَطُّ, إلاَّ شَهْرَ رَمَضَانَ , وَمَا رَأيْتَهُ فِىْ شَهْرٍ كْثَـَرَ مِنْهُ صِيَامًا فِي شَعْبَانَ                  
                                                       
“Tidak terlihat olehku Rasulallah saw. berpuasa satu bulan penuh, kecuali pada bulan Ramadhan, dan tidak satu bulan yang hari-harinya lebih banyak dipuasakan Nabi daripada bulan Sya’ban”.   (Bukhari dan Muslim)

Riwayat dari Usamah bin Zaid ra. katanya :

قُلْتُ : يَا رَسُوْلُ اللهِ لَمْ أرَاكَ تَصُومُ مِنْ شَهِْرمِنَ الشُّهُورِ مَا تَصُومُ مِنْ شَعْبَان؟
 قَالَ ذَالِكَ شَهْرُْ يَغْفَلُ النَّاسُ عَنْهُ , بَيْنَ رَجَبَ وَ رَمَضَانَ وَهُوَ شَهْـرٌ تُرْفَعُ بِهِ
  الأعْمَال اِلَى رَبِّ العَالَمِيْنَ فَأحِبُّ اَنْ يُرْفَع عَمَلِى وَأنَا صَائِمٌ.                  
                                             
Artinya: “Tanya saya: ‘Ya, Rasulallah kelihatannya tidak satu bulan pun yang lebih banyak anda puasakan dari Sya’ban’. Ujar Nabi;  ‘Bulan itu sering dilupakan orang, karena letaknya antara Rajab dan Ramadhan, sedang pada bulan itulah (bulan Sya’ban) diangkatnya amalan-amalan kepada Allah Rabbul ‘alamin. Maka saya ingin amalan saya dibawa naik selagi saya dalam berpuasa’ ”. (HR.Abu Daud dan Nasa’i dan disahkan oleh Ibnu Khuzaimah)

Hadits dari Ummu Salamah ra., katanya: ‘Belum pernah aku melihat Nabi saw. berpuasa dua bulan berturut-turut terkecuali di bulan Sya’ban dan Ramadhan”. (HR. Tirmidzi dengan sanad Hasan)

Abu Dawud mengemukakan hadits dari Abdullah bin Abi Qais dari Aisyah ra. sebagai berikut: “Bulan yang paling disukai Rasulullah saw. ialah berpuasa di bulan Sya’ban. Kemudian beliau menyambung puasanya hingga ke Ramadhan”. (Sulaiman bin al-Asy’at al-Sijistani, Sunan Abu Daud, t.th, Dar al-Fikr : Beirut , hlm 323 juz 2)

Hadits lainnya adalah riwayat al-Nasa'i dan Abu Dawud (dan dishohihkan oleh Ibnu Huzaimah): "Usamah berkata pada Nabi saw, 'Wahai Rasulullah, saya tak melihat engkau melakukan puasa (sunat) sebanyak yang engkau lakukan dalam bulan Sya'ban'. Rasul menjawab: 'Bulan Sya'ban adalah bulan antara Rajab dan Ramadan yang dilupakan oleh kebanyakan orang'’ “.

Hadits dari Imran Ibnu Hushain ra. bahwasanya Nabi saw. pernah berkata pada seseorang lelaki; “Apakah engkau pernah berpuasa sebagian dari bulan Sya’ban ini? Jawab lelaki itu: ‘Tidak ‘. Sabda Nabi saw.: ‘Jika engkau telah menyelesaikan bulan Ramadhan, maka puasalah dua hari sebagai puasa pengganti bulan Sya’ban’ “. (HR. Bukhori dan Muslim)           

Mengenai nishfu Sya’ban yang diriwayatkan Tirmudzi didalam An-Nawadir dan oleh Thabarani serta Ibnu Syahin dengan sanad Hasan (baik), berasal dari ‘Aisyah ra. yang menuturkan bahwa Rasulallah saw. pernah menerang- kan bahwa:

هَذِهِ لَيْلَةُ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ يَغْفِرُ الله ُ المُسْتَغْفِرِيْنَ , وَ يَرْحَمُ المُسَْتَرْحِمِيْنَ وَ يُؤَخِّرُ أهْلَ الحِقدِ عَلَى حِقْدِهِمْ
        
Artinya: “Pada malam nishfu Sya’ban ini Allah mengampuni orang-orang yang mohon ampunan dan merahmati mereka yang mohon rahmat serta menangguhkan (akibat) kedengkian orang-orang yang dengki”.
Disekitar hadits terakhir diatas ini beredar sejumlah hadits lainnya yang memandang mustahab/baik kegiatan menghidupkan (ihya) pada malam nishfu tersebut. Diantaranya; hadits riwayat Ibnu Majah dari Amirul mukminin Ali kw.;  Hadits riwayat Ibnu Majah, Tirmidzi dan Ahmad dari ‘Aisyah ra., riwayat Ibnu Majah dan Ahmad dari Abu Musa ra. dan sebagainya. Terkabulnya do’a yang dipanjatkan pada malam tersebut lebih besar harapannya dan pada bulan itulah di angkatnya amalan-amalan kepada Allah Rabbul ‘alamin.       

Hadits yang dikemukakan oleh ulama yang diandalkan golongan pengingkar ini yaitu Syeikh al-Albani (dalam silsilah al-Ahadits al-Sahihah, No. 1144) yaitu: “Allah melihat kepada hamba-hambaNya pada malam nishfu Sya’ban, maka Dia ampuni semua hamba-hambaNya kecuali musyrik (orang yang syirik) dan yang bermusuh (orang benci membenci)”.        

Hadits dari ‘Aisyah ra: “Suatu malam Rasulullah salat, kemudian beliau bersujud panjang, sehingga aku menyangka bahwa Rasulullah telah diambil, karena curiga maka aku gerakkan telunjuk beliau dan ternyata masih bergerak. Setelah Rasulullah usai salat beliau berkata: ‘Hai A’isyah engkau tidak dapat bagian’?. Aku menjawab: ‘Tidak ya Rasulullah, aku hanya berpikiran yang tidak-tidak (menyangka Rasulullah telah tiada) karena engkau bersujud begitu lama’. Beliau bertanya: ‘Tahukah engkau, malam apa sekarang ini’. ‘Rasulullah yang lebih tahu’, jawabku. ‘Malam ini adalah malam nisfu Sya’ban, Allah mengawasi hambanya pada malam ini, maka Dia memaafkan mereka yang meminta ampunan, memberi kasih sayang mereka yang meminta kasih sayang dan menyingkirkan orang-orang yang dengki‘ “(HR. Baihaqi). Menurut perawinya hadits ini mursal (ada rawi yang tidak sambung ke sahabat), namun cukup kuat.       

Dalam hadits Ali kw, Rasulullah bersabda: “Malam nisfu Sya’ban, maka hidupkanlah dengan salat dan puasalah pada siang harinya, sesungguhnya Allah turun kelangit dunia pada malam itu, Allah bersabda: ‘Orang yang meminta ampunan akan Aku ampuni, orang yang meminta rizqi akan Aku beri dia rizqi, orang-orang yang mendapatkan cobaan maka aku bebaskan, hingga fajar menyingsing’”. (H.R. Ibnu Majah dengan sanad lemah).        

Ingat sekali lagi bahwa para Ulama berpendapat bahwa hadits lemah dapat digunakan untuk Fadhail ‘Amal (keutamaan amal). Walaupun sebagian hadits-hadits tersebut tidak shahih, namun melihat dari hadits-hadits lain yang menunjukkan keutamaan bulan Sya’ban, dapat diambil kesimpulan bahwa malam Nisfu Sya’ban jelas mempunyai keutamaan dibandingkan dengan malam-malam lainnya..            

Menurut seorang ahli ilmu Ibn Thawus dalam buku ‘Iqbal’, riwayat dari Kumail bin Ziyad Nakha’i (sahabat Imam Ali bin Abi Thalib kw.), yang katanya: “Pada suatu hari, saya duduk di Masjid Basrah bersama maulana Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib kw., membicarakan hal nishfu Sya’ban. Ketika beliau ditanya tentang firman Allah swt dalam surat Ad-Dukhaan: 4:

                                                            فِيْهَا يُفْرَقُ كُلُّ أمْرٍ حَكِيْمٍ                                                 

Artinya: “Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah”          

Amirul Mukminin mengatakan bahwa ayat ini mengenai malam nishfu Sya’ban, orang yang beribadat di malam itu, tidak tidur, dan membaca do’a Hadrat Hidr as. akan lebih besar harapan diterima do’anya. Ketika beliau pulang kerumahnya, dimalam itu, saya menyusulnya. Melihat saya, Imam Ali bertanya: ‘Apakah keperluan anda kemari’? Jawab saya;  ‘Saya kemari untuk mendapat- kan do’a Hadrat Hidr’. Beliau mempersilahkan saya duduk seraya berkata: ‘Ya, Kumail, apabila anda menghafal do’a ini dan membacanya setiap malam Jum’at, cukuplah itu untuk melepaskan anda dari kejahatan, anda akan ditolong Allah swt., diberi rezeki, dan do’a ini akan makbul. Ya, Kumail, lamanya per sahabatan serta kekhidmatan anda, menyebabkan anda dikarunia nikmat dan kemuliaan untuk belajar’.       

Dalam Mafatih, muhaditts besar Al-Qummi, yang dikutip dalam Mishbah-ul-Mutahajjid, disebutkan bahwa do’a Hadrat Hidr adalah do’a terbaik, dan termasyhur sebagai do’a hadrat hidr, serta Imam Ali kw, berkata pada Kumail untuk membacanya di malam nishfu Sya’ban dan setiap malam Jum’at. Dikatakan bahwa do’a ini dapat memperluas pintu rezeki dan melawan niat jahat musuh.       
Disamping do’a hadrat hidr tersebut ada do’a malam nishfu Sya’ban yang masyhur/terkenal juga diriwayatkan oleh Abu Syaibah di dalam Al-Mushannif  dan oleh Abu Dunya didalam Ad-Dua, berasal dari Ibnu Mas’ud ra. Juga ada hadits dari Ibnu Umar yang mengatakan,‘ Seorang hamba Allah yang memanjatkan do’a do’a itu, Allah pasti meluaskan penghidupannya (rezekinya). Ibnu Jarir, Ibnul Mundzir dan At-Thabarani meriwayatkan juga hadits tersebut dengan lafadh (versi) tidak jauh berbeda.

Banyak berita riwayat yang menerangkan, bahwa orang yang memanjatkan do’a malam nishfu Sya’ban ini akan diluaskan rezekinya dan sebagainya. Juga beberapa sumber rujukan yang mengisnadkan sebagian isi do’a nishfu dari Umar bin Khattab ra.. Sebagian isi do’a yang diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud antara lain berbunyi: ’Ya Allah, jika Engkau telah menyuratkan nasibku..dan seterusnya’. Bagi yang ingin mengetahui lafadh do’a ini, bisa baca pada kitab majmu’ syarif  yang banyak dijual pada toko-toko buku agama. Keterangan-keterangan demikian ini tentu atas dasar taufiq atau persetujuan dari Nabi saw.. Sebab tidak ada kewenangan pada seorang sahabat atau lainnya untuk memberitahu suatu imbalan pahala yang bersifat ghaib kalau tidak dari Nabi saw.. Jadi do’a-do’a nishfu Sya’ban baik yang dari Imam Ali kw.(do’a Hadrat Hidhr) serta dari sahabat-sahabat Nabi lainnya sudah terkenal di kalangan para salaf, dan tidak ada seorang pun dari mereka yang menyangkal atau mensesatkannya, kecuali golongan pengingkar ini!


Cara ibadah, berdo’a yang dilakukan oleh kaum muslimin pada malam nishfu Sya’ban itu bermacam-macam:       
Ibadah dan berdo’a pada malam Nishfu Sya’ban walau pun bermacam-macam tapi makna dan intinya sama yakni bermohon kepada Allah swt. untuk kebaikan didunia dan akhirat. Ada yang shalat sunnah enam rakaat pada waktu antara maghrib dan Isya’, banyak hadits yang tidak diragukan ke benarannya mensunnahkan shalat enam raka’at tersebut. Jika seorang hamba Allah bertawassul kepada-Nya melalui shalat enam raka’at itu, sungguhlah bahwa tawassul yang dilakukannya itu adalah amalan shalih, dan itu tidak dapat disangkal. Karena itu sama halnya orang yang melakukan sholat Hajat, yaitu shalat sunnah yang dengan bulat dibenarkan oleh semua umat Islam.             
Cara ibadah lainnya yaitu berdo’a dengan tawassul membaca surat Yaasin pada malam nishfu Sya’ban ini, setiap setelah baca Yaasin sekali langsung disambung dengan do’a (kalimat doanya lihat bawah) dan hal yang sama ini diulangi sampai tiga kali. Bacaan pertama dengan niat agar diampuni dosa-dosanya oleh Allah swt., bacaan yang kedua dengan niat agar Allah swt. menjauhkan dari berbagai kesusahan dan bacaan yang ketiga dengan niat agar Allah swt. menjauhkan dari rasa minder/rendah diri terhadap manusia (Istighna ‘anin Naas). Ini semua tidak lain merupakan tawassul kepada Allah swt. dengan Kitab Suci-Nya, dengan firman-Nya dan dengan kesucian sifat-sifat-Nya.
Sebagaimana yang telah kami kemukakan bahwa para ulama sepakat keshohihan dari hadits Rasulallah saw tentang riwayat 3 orang yang tertutup di goa, yang berdoa kepada Allah swt sambil bertawassul dengan amal kebaikan yang pernah diamalkannya.  Kemudian Allah swt mengabulkan doa mereka ini. Nah, kalau bertawassul dengan amal kebaikan tsb. dibolehkan dan mustajab doanya, apalagi tawassul dengan firman Allah swt yaitui membaca surah Yasin sebelum berdoa kepada Allah swt, insya Allah lebih besar lagi harapan doa kita dikabulkan oleh Allah swt.

Kalimat Doa nishfu Sya'ban:
{{ ALLAAHUMMA YAA DZAL MANNI WALAA YUMANNU ‘ALAIKA YAA DZAL JALAALI WAL IKRAAM, YAA DZATH THAULI WALIN’AAM, LAA ILAAHA ILLAA ANTA, DHAHRUL LAAJIIN, WA JAARUL MUSTAJIIRIIN, WA AMAANUL KHAA IFIIN, ALLAAHUMMA IN KUNTA KATABTA NII ‘INDAKA FII UMMIL KITAABI SYAQIYYAN AW MAHRUUMAN AW MATHRUUDAN AW MUQTARRAN ‘ALAYYA FIR RIZQI, FAMHULLAA HUMMA BI FADLLIKA SYAQAAWATII WA HIRMAANII WA THARDII WAQ TITAARI RIZQII WA ATS-BITNII INDAKA FII UMMIL KITAABI SA’IIDAN MARZUUQAN MUWAFFAQALLIL KHAIRAAT. FA INNAKA QULTA WA QAULUKAL HAQQU FII KITAABIKAL MUNAZZALI ‘ALAA NABIYYIKAL MURSALI, YAMHUL LAAHUMAA YASYAA U WA YUTSBITU WA ‘INDAHUU UMMUL KITAAB. ILAAHII BITTAJALLIL AA’DHAMI FII LAILATIN NISHFI MIN SYAHRI SYA’BAANIL MUKARRAMIL LATII YUFRAQU FIIHAA KULLU AMRIN HAKIIM WA YUBRAM, ISHRIF ‘ANNII MINAL BALAA I MAA A’LAMU WA MAA LAA A’LAM WA ANTA ‘ALLAAMUL GHUYUUBI BIRAHMATIKA YAA ARHAMAR RAAHIMIIN. }}.
Artinya:“Ya Allah Tuhanku Pemilik nikmat, tiada ada yang bisa memberi nikmat atas-MU. Ya Allah Pemilik kebesaran dan kemuliaan. Ya Allah Tuhanku Pemilik kekayaan dan Pemberi nikmat. Tidak ada yang patut disembah hanya Engkau. Engkaulah tempat bersandar. Engkaulah tempat berlindung dan padaMUlah tempat yang aman bagi orang-orang yang ketakutan. Ya Allah Tuhanku, jika sekiranya Engkau telah menulis dalam buku besar-MU bahwa adalah orang yang tidak bebahagia atau orang yang sangat terbatas mendapat nikmat-MU, orang yang dijauhkan daripada-MU atau orang yang disempitkan dalam mendapat rizki, maka aku memohon dengan karunia-MU, semoga kiranya Engkau pindahkan aku kedalam golongan orang-orang yang berbahagia, mendapat keluasan rizki serta diberi petunjuk kepada kebajikan. Sesungguhnya Engkau telah berkata dalam kitabMU yang telah diturunkan kepada Rasul-MU, dan perkataan-MU adalah benar, yang berbunyi: Allah mengubah dan menetapkan apa-apa yang dikehendaki-NYA dan pada-NYA sumber kitab. Ya Allah, dengan tajalli-MU Yang Mahabesar pada malam Nisfu Sya’ban yang mulia ini, Engkau tetapkan dan Engkau ubah sesuatunya, maka aku memohon semoga kiranya aku dijauhkan dari bala bencana, baik yang aku ketahui atau yang tidak aku ketahui, Engkaulah Yang Mahamengetahui segala sesuatu yang tersembunyi. Dan aku selalu mengharap limpahan rahmatMU ya Allah Tuhan Yang Maha Pengasih.”

Kebaikan yang diminta oleh seorang hamba Allah dari Tuhannya pada hakikat kenyataan nya berharapan agar Allah swt. berkenan menghapus keburukannya atau dosanya, karena amal kebaikan itu akan meniadakan keburukan, sebagaimana firman-firman Allah swt. berikut ini :

 إنَّ الحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّـيِّئـاتِ                                                     

Artinya: "Sungguhlah bahwa kebaikan meniadakan keburukan”    ( Hud : ayat 114 ).

                                                             ََاُوْلآئكََ يُبَـدّلُ اللهُ سَيِّـئَاتِهِمْ حَسَـنَاتٍ

Artinya: “Mereka itulah orang orang yang keburukannya diganti Allah dengan kebaikan”.  (Al-Furqan : 70).

ثُـمَّ بَدَّلْـنَـا مَكَانَ السَّـيِّـئَةِ الحَسَـنَةَ  
Artinya: “Kemudian keburukan (yang ada pada mereka) Kami ganti dengan kebaikan”.   (Al-A’raf:95).

Dan masih ada firman Allah swt. yang menyerukan agar kita berlomba-lomba mengerjakan kebaikan.

Sedangkan dalam hadits dari Ibn Mas’ud ra berkata:

وَعَنْ ابْنِ مَسْعُوْد(ر) أَنَّ رَجُلأ أَصاَبَ مِنِ امْرَأَةٍ قُبْلَةً فَاتَى النَّبِيِّ فَأخْبَرَهُ فَأنْزَلَ الله ُتَعَالَى
 : وَأَقِمِ الصَّلآةَ طَرَفَىِ النَّهَارٍوَزُلَفـاً مِنَ الَّليـلِ أِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهـِبْنَ السَّيئَاتِ.
 فَقَالَ الرَّجُلُ : أَلِي هَذَا يَا رَسُولَ الله ؟ قَالَ :  لِجَمِيعِ أُمّتِي كُلِّهِمْ (رواه البخاري و مسلم )
 
Artinya:  “Seorang lelaki mencium wanita, maka ia datang kepada Nabi saw. memberitahu hal itu. Maka Allah menurunkan (firman-Nya): ‘Tegakkan sholat pada pagi dan sore, dan pada waktu malam. Sesungguhnya kebaikan itu dapat menghapus keburukan' (QS.Hud:114). Maka orang itu bertanya: ‘Apakah hukum ini khusus untukku’, wahai Rasulallah ? Jawab Nabi saw: ’Untuk semua umatku’ ". (HR.Bukhori dan Muslim)

Setiap hari kita dianjurkan beramal sholeh disamping amalan wajibnya, dan Allah swt. akan memberi pahala bagi orang yang mengamalkannya. Lepas dari itu, kita mengenal dalil-dalil didalam Islam yang menunjukkan bahwa ada hari-hari, bulan dan malam-malam tertentu yang mana pada waktu-waktu tertentu tersebut Allah swt. lebih meluaskan ampunan,kurnia serta rahmat-Nya kepada hamba Allah yang sedang beramal sholeh pada waktu-waktu tersebut melebihi daripada hari-hari, malam-malam atau bulan-bulan biasa. Masalah-masalah ini semua yang penting adalah agar orang tidak menyakini bahwa pembacaan-pembacaan do’a, peribadatan dan lain-lain pada hari atau bulan yang dimuliakan –diantaranya malam nishfu Sya’ban itu– diwajibkan atau ditekankan oleh syariat, sehingga nanti orang yang tidak sependapat dengan mereka, memandang  salah dan durhaka. Tidak lain kegiatan ibadah sunnah pada waktu-waktu tersebut adalah fadhilah mubah bagi siapa yang beroleh taufiq Ilahi. Dan orang-orang yang beroleh taufiq ilahi tidak banyak jumlahnya.       

Masih banyak hadits lainnya yang tidak kami kemukakan dibab ini mengenai keistemewaan-keistemewaan serta pahala beramal ibadah pada hari atau bulan-bulan tertentu umpama: hari Jum’at, puasa pada hari Senin dan Kamis, bulan Ramadhan, puasa 6 hari setelah hari Raya Idul Fithri, puasa pada hari ‘Asyura, giat beribadah pada malam lailatul Qadr dan keistemewaan mengenai bacaan surat tertentu dari Al-Qur’an dan lain sebagainya. Juga hadits-hadits yang meriwayatkan kemuliaan tempat-tempat tertentu seperti tempat-tempat yang disebutkan pada manasik haji, keutamaan dari tiga masjid, kesucian lembah Thuwa, tempat bekas berdirinya nabi Ibrahin as. dan lain sebagainya. Dengan demikian kita bisa ambil kesimpulan bahwa didalam Islam telah dikenal adanya keistemewaan dari Allah swt. bagi orang yang beramal ibadah pada waktu-waktu dan ditempat-tempat tersebut. Bila ada orang mengatakan bahwa semua hari, bulan, pembacaan ayat-ayat Qur’an, serta tempat-tempat tertentu itu sama semuanya tidak ada yang lebih utama satu sama lain, begitu juga amalan-amalan ibadah pada hari dan tempat-tempat tertentu sama juga pahalanya, maka kami ingin bertanya pada mereka:  
Apakah gunanya  riwayat-riwayat –mengenai pahala-pahala amalan tertentu, bacaan yang mempunyai manfaat tertentu, pahala ibadah pada tempat-tempat, bulan-bulan dan malam-malam tertentu, yang pada waktu-waktu tertentu ini Allah lebih meluaskan Rahmat, Karunia dan Ampunan-Nya– kalau semuanya itu tidak ada keistimewaannya atau kalau semua sama pahalanya dan keutamaannya? Apakah semua dalil-dalil tersebut palsu, bohong, dho’if, harus dibuang dan dimunkarkan karena tidak sesuai dengan akal kita atau karena berlawanan dengan pahamnya sebagian ulama?        

Kami sayangkan masih adanya golongan muslimin yang sering aktif menteror sesama saudara muslim yang mengamalkan amalan-amalan ibadah nawafil /sunnah atau mubah yang telah kami kemukakan disitus ini. Golongan pengingkar ini setiap kali datang bulan-bulan diantaranya bulan Maulidin Nabi saw., bulan Sya’ban, bulan Rajab menyebarkan makalah-makalah dari website mereka yang ditulis oleh ulama  golongan ini. Ulama mereka menulis hadits-hadits dan ayat Ilahi –yang menurut paham mereka– sebagai larangan mengamalkan amalan-amalan mubah tersebut. Mereka ini tidak segan-segan langsung menvonnis bahwa amalan-amalan yang diamalkan oleh kaum muslimin didunia pada bulan-bulan tertentu itu sebagai amalan Haram, Bid’ah Munkar atau syirik dan lain sebagainya. Tetapi herannya kaum muslimin yang mengamalkan ini bertambah banyak, jadi bertambah banyak makalah-makalah yang mereka tulis bertambah banyak orang yang mengamalkan amalan-amalan sunnah atau mubah tersebut. Subhanallah.      

Kalau kita teliti lagi, perbedaan paham setiap ulama atau setiap madzhab selalu ada, dan tidak bisa disatukan. Sebagaimana yang sering kita baca di kitab-kitab fiqih para ulama pakar yaitu, Satu hadits bisa dishohihkan oleh sebagian ulama pakar dan hadits yang sama ini bisa dilemahkan atau di palsukan oleh ulama pakar lainnya. Kedua kelompok ulama ini sama-sama berpedoman kepada Kitabullah dan Sunnah Rasulallah saw. tetapi berbeda cara penguraiannya. Begitu juga halnya dengan hadits-hadits tentang keutamaan bulan Rajab dan amalannya, keutamaan bulan Sya’ban dan amalannya, keutamaan nishfu Sya’ban dan amalannya. Perbedaan pendapat amalan nawafil/ sunnah atau mubah ini sebenarnya tidak perlu diperuncing atau dipertajam sehingga sering mengakibatkan sesat-mensesatkan, benci-membenci antar sesama muslim. Siapa yang akan mengamalkan kebaikan itu, silahkan, dan yang tidak akan mengamalkan amalan-amalan kebaikan itu itu yah silahkan juga !!          

Kalau kita telaah dalil-dalil keutamaan bulan dan malam nishfu Sya’ban, dalam kenyataannya banyak beredar hadits –baik yang dhoif mau pun yang shohih atau hasan– yang juga diakui oleh sebagian ulama golongan pengingkar ini sendiri. Hanya sayangnya golongan tertentu ini –karena fanatiknya dengan  paham mereka sendiri– tidak segan-segan dan berani menvonnis bahwa amalan  amalan itu semuanya bid’ah munkar yang harus diperangi dan lain sebagainya. Yang sering digembar-gemborkan oleh golongan ini ialah tentang amalan-amalan; Tawassul, Tabarruk, menghidupkan malam Nishfu Sya’ban, peringatan maulidin Nabi saw. dan sebagainya. Alasan mereka: “Rasulullah saw. tidak pernah memerintahkan dan mencontohkannya. Begitu juga para shahabatnya tidak ada satu pun diantara mereka yang mengerjakannya. Demikian pula para tabi’in dan tabi’ut-tabi’in”. Atau ucapan mereka: “Kita kaum muslimin di perintahkan untuk mengikuti Nabi saw. yakni mengikuti segala perbuatan Nabi. Semua yang tidak pernah beliau lakukan, mengapa justru kita yang melakukannya..? Bukankah kita harus menjauhkan diri dari sesuatu yang tidak pernah dilakukan Nabi saw., para sahabat, ulama-ulama salaf? Karena melakukan sesuatu yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi adalah bid’ah”.       

Kaidah seperti itulah yang sering dijadikan pegangan dan dipakai sebagai perlindungan oleh golongan pengingkar ini, juga sering mereka jadikan sebagai dalil/hujjah untuk melegitimasi tuduhan bid’ah mereka terhadap semua perbuat  an amalan nawafil atau mubah tersebut. Terhadap semua ini mereka langsung menghukumnya dengan ‘sesat, haram, munkar, syirik dan sebagainya’  tanpa mau mengembalikannya kepada kaidah-kaidah atau melakukan penelitian terhadap hukum-hukum pokok/asal agama.       

Omongan mereka seperti ‘Rasulallah saw., para sahabat dan tabi’in tidak pernah melakukan amalan.... ’, seakan-akan mereka itu pernah hidup pada zamannya Rasulallah saw. atau zamannya para sahabat beliau saw. sehingga menyaksikan dengan mata kepala sendiri amalan-amalan yang diamalkan oleh Nabi saw. dan para sahabat beliau saw.!
Sebagaimana yang telah kami kemukakan sebelum nya bahwa Allah swt. berfirman: “Apa saja yang didatangkan oleh Rasul kepadamu, maka ambillah dia dan apa saja yang kamu dilarang daripadanya, maka berhentilah (mengamalkannya)”.  (QS. Al-Hasyr : 7). Dalam ayat ini tidak dikatakan: ‘Dan apa saja yang tidak pernah dikerjakannya (oleh Rasulallah), maka berhentilah (mengerjakannya)’. Begitu juga hadits Rasulallah saw.: “Jika aku menyuruhmu melakukan sesuatu, maka lakukanlah semampumu dan jika aku melarangmu melakukan sesuatu, maka jauhilah dia”. (HR.Bukhori). Dalam hadits ini Rasulallah saw. tidak bersabda; ’Apabila sesuatu itu tidak pernah aku kerjakan, maka jauhilah dia’.

Dengan demikian memahami makna ayat dan hadits yang terakhir itu, kita bisa mengambil kesimpulan: Dalil untuk mengharamkan sesuatu perbuatan haruslah menggunakan nash yang jelas, baik itu dari Al-Qur’an mau pun Hadits yang melarang dan mengingkari perbuatan tersebut. Jadi bukan seenaknya menurut pemikirannya sebagian orang. Semua perbuatan yang diharamkan atau dihalalkan oleh syari’at Islam sudah jelas diterangkan dalam Sunnah Rasulallah saw., bila tidak ada keterangan yang jelas mengenai suatu amalan, maka para ulama akan meneliti dahulu apakah amalan yang bersangkutan itu berlawanan dengan hukum yang telah digariskan oleh syari’at Islam (hukum pokok Islam). Dengan demikian ayat dan hadits tersebut jelas maknanya: Bahwa suatu perbuatan tidak boleh diharamkan hanya karena alasan bahwa Nabi saw., para sahabat  atau salafus sholih tidak pernah meng-amalkannya!.Begitu juga tidak semua kata-kata Bid’ah (rekyasa yang baru) itu otomatis haram, sesat dan lain sebagainya. Banyak sekali amalan para sahabat yang Bid’ah pada zaman Rasulallah saw. mau pun setelah wafat beliau yang tidak pernah diajarkan dan di perintahkan oleh beliau saw.. Tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang mengatakan bahwa amalan Bid’ah para sahabat itu itu adalah haram, syirik dan lain sebagainya. (keterangan lebih mendetail silahkan membaca bab Bid’ah dibuku ini)

Dalil-dalil golongan pengingkar dan jawabannya:       
Golongan pengingkar menulis beberapa hadits dan wejangan para ulama yang membidáhkan munkar amalan bulan Sya'ban dan Rajab antara lain tulisan mereka ialah:

Hadits pertama: “Barangsiapa yang shalat seratus raka’at pada malam nishfu dari bulan Sya’ban, ia baca pada tiap-tiap raka’at sesudah al-Fatihah, Qulhu sepuluh kali, maka tidak seorang pun yang shalat seperti itu melainkan Allah kabulkan semua hajat yang ia minta pada malam itu…sampai akhir hadits”.       

Hadits Kedua: “Barangsiapa yang membaca pada malam nishfu Sya’ban Qulhuwallahu ahad seribu kali dalam seratus raka’at…sampai akhir hadits”.      

Hadits Ketiga: “Barangsiapa yang shalat pada malam nishfu Sya’ban 12 raka’at, ia baca pada tiap-tiap raka’at Qulhu 30 kali ………sampai akhir hadits”.       

Hadits Keempat: “Riwayat yang menerangkan bahwa Nabi saw. Shalat nishfu Sya’ban 14 raka’at, setelah selesai beliau membaca al-Fatihah 14 kali, qulhu 14 kali, ayat kursi satu kali......sampai akhir hadits”.

Kata mereka selanjutnya:
Imam Ibnu Jauzi berkata, “Tentang hadits-hadits (diatas) ini kami tidak ragu lagi tentang palsunya, semua rawi-rawinya pada tiga hadits (nomer pertama s/d ketiga) majhul (tidak diketahui keadaannya oleh ahli hadits). Dan (hadits) ini (yang keempat) juga maudhu (palsu) dan sanadnya gelap (tidak diketahui).      
Imam Nawawi berkata: “Shalat rajab, shalat nishfu Sya’ban adalah dua Bid’ah, Munkar lagi Jelek”. (As-Sunan wal Mubtada’at halaman 144,145 karangan Syaikh Muhammad Abdussalam Al-Hudlori).       

Ibnu Taimiyah berkata: “Shalat ragha’ib (shalat pada malam Jum’at pertama di bulan Rajab), dan shalat pada awal malam bulan Rajab, dan shalat pada awal malam Mi’raj, dan shalat Al-Fiyah (seribu) malam nishfu Sya’ban, adalah Bid’ah dengan kesepakatan pemuka-pemuka Agama (Islam). Sedang hadits-hadits yang diriwayatkan (semuanya?) Dusta dengan Ijma’ Ahli Ilmu Hadits”. (Fatawa Ibnu Taimiyah jilid 23 hal.131 s/d 135).       

Imam Fatany berkata: “Tentang shalat nishfu Sya’ban itu tidak ada satu pun kabar atau riwayat (yang shahih) melain- kan riwayat yang dho’if atau palsu. Oleh karena itu janganlah kita tertipu dengan disebutnya (shalat nisfu itu) di kitab QUT dan Ihya’ dan yang selain keduanya”. (As-Sunan wal  Mubta-da’at hal.144 dan 145). Dikitab Ihya karangan Imam Al-Gazali memang ada tersebut disunatkannya shalat nishfu Sya’ban itu. Oleh karena itulah Imam Fatany memperingat kan kita supaya jangan tertipu dengan disebutnya dikitab Ihya itu dimana pengarangnya seorang Imam besar namun manusia manakah yang tidak mempunyai salah?       

Imam Al-Iraqi yang mengoreksi hadits-hadits yang terdapat diKitab Ihya mengatakan, “Hadits-hadits tentang shalat malam nishfu Sya’ban itu adalah hadits yang Bathil,dan Ibnu Majah meriwayatkan dari hadits Ali, apabila datang malam nishfu Sya’ban maka shalatlah pada malam- nya dan puasalah pada waktu siangnya. Tapi semua sanad nya dlo’if ! (Ihya ‘Ulumid din jilid 1 halaman 203 oleh: Imam Al-Gazali)

Jawaban:
Tidak adanya pengakuan atau kepercayaan –para Imam diatas itu– tentang hadits-hadits, yang berkaitan dengan sholat pada malam nishfu Sya’ban yang ditentukan bilangan raka’atnya dan bacaan-bacaan tertentu didalam sholat tersebut, bukan berarti mereka ini mengharamkan orang yang mengamalkan sholat sunnah atau mubah pada malam nishfu Sya’ban itu. Para imam ini hanya mengatakan –semua amalan yang telah dikemukakan dalam hadits tersebut– itu bid’ah (rekyasa baru), karena ,menurut mereka, Rasulallah saw. tidak pernah memerintahkan atau mengucapkan tentang ketentuan atau cara sholat dan bacaannya pada malam nishfu Sya’ban atau pada bulan Rajab. Bila benar Rasulallah saw. tidak pernah mensunnahkannya, tidak lain yang dicela oleh para ulama diatas ialah mencela atau mensesatkan orang yang mengemukakan hadits atas nama Rasulallah saw., yang mana beliau saw sendiri tidak pernah mengucapkannya! Jadi bukan amalan ibadahnya yang dicela atau disesatkan, selama amalan ibadah ini tidak keluar dari yang telah digariskan oleh syari’at Islam!! Karena syari’at tidak melarang orang sholat sunnah muthlaq berapa raka’at yang mereka kehendaki dengan bacaan apa pun dari Al-Qur’an.(baca keterangan bid'ah disitus ini dan keterangan berikut ini).       

Jadi para ulama tadi tidak mengharamkan orang-orang yang mengamalkan amalan sholeh pada malam nishfu Sya’ban.Para Imam itu juga tidak mengingkari adanya hadits Rasulallah saw. lainnya yang  diakui oleh para ulama pakar lainnya mengenai keutamaan bulan dan malam nishfu Sya’ban tersebut. Umpamanya hadits yang telah kami kemukakan sebelumnya dari Usamah bin Zaid bahwa Rasulallah saw. bersabda: ‘..pada bulan Sya’ban diangkatnya amalan-amalan keRabbul ‘Alamin....sampai akhir hadits’. Begitu juga hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah ra. bahwa Rasulllah saw. bersabda:.’...pada malam nishfu Sya’ban Allah swt. akan mengampuni orang yang mohon ampun ...sampai akhir hadits’ dan hadits-hadits  lainnya. Mengapa justru golongan pengingkar ini yang memutuskan bahwa semua amalan-amalan ibadah pada bulan dan nishfu Sya’ban adalah bid’ah munkar serta melarang orang extra sholat sunnah dan amalan ibadah lainnya pada waktu yang mulia tersebut?       

Begitu juga golongan pengingkar dan pengikutnya ini mempunyai paham bahwa hadits-hadits yang dhoif –walaupun dalam masalah kebaikan– tidak boleh untuk diamalkan, dengan lain perkataan, bila amalan yang tercantum di dalam hadits dhoif itu diamalkan maka otomatis menjadi haram atau bid’ah sesat yang harus diperangi.
Akidah mereka seperti itu telah menyalahi Ijma’ (sepakat) Ulama yang mengatakan: “Hadits yang dhoif itu boleh diamalkan bila berkaitan dengan Fadhail ‘Amal (amalan-amalan yang mulia/ baik)”. Hadits dhoif adalah hadits yang mempunyai asal/akar tetapi belum memenuhi syarat-syarat hadits hasan atau shohih, misalnya karena ada diantara perawi dari hadits tersebut yang majhul (tidak dikenal) atau lemah hafalannya. Tetapi bila banyak beredar hadits dhoif mengenai amalan yang sama dan diriwayatkan oleh berbagai para perawi lainnya maka dia meningkat menjadi hadits Hasan/ Baik, begitu juga hadits Hasan bila banyak diriwayatkan oleh para perawi yang berbeda-beda dia akan meningkat menjadi hadits shohih. Hanya dengan satu hadits saja –walau pun misalnya hadits ini lemah– tetapi banyak diriwayatkan dari berbagai jalan sudah cukup buat kita sebagai anjuran dalil untuk mengamalkan amalan-amalan sholeh pada kesempatan emas tersebut yaitu pada malam nishfu itu. Apalagi masih ada dalil yang tidak dhoif mengenai keutamaan bulan dan malam nishfu Sya’ban itu. Dengan demikian orang tidak bisa main pukul sama rata bahwa semua hadits mengenai kemuliaan bulan dan malam nishfu Sya’ban adalah munkar!       

Sekali lagi, umpama saja, kita benarkan bahwa tidak ada cara tertentu yang sah dari Rasulallah saw. untuk beribadah pada malam tersebut, ini bukan berarti orang tidak boleh atau haram untuk sholat sunnah Muthlaq atau berdo’a pada malam nishfu Sya’ban yang mulia itu. Dimana dalilnya dari Rasulallah saw. atau dari para sahabat atau dari para salaf bahwa orang dilarang/haram mengamalkan ibadah (sholat, membaca do’a dan lain sebagainya) pada malam tersebut? Sudah Tentu Tidak Ada! Karena semuanya itu merupakan amalan-amalan sholeh. Agama Islam tidak pernah melarang orang mengamalkan kebaikan selama hal ini tidak berlawanan dengan yang telah digariskan oleh syari’at, serta tidak disyariatkan sebagai amalan wajib! Malah sebaliknya syari’at sering menganjurkan agar kita selalu mengamalkan amalan-amalan sholeh/kebaikan! Apakah orang yang berdo’a, sholat sunnah Muthlaq bukan termasuk sebagai amalan sholeh? Tidak ada satu pun dari golongan muslimin yang mengamalkan amalan ibadah pada malam nishfu mempunyai firasat bahwa amalan itu adalah amalan yang diwajibkan oleh syari’at Islam, tidak lain ini hanya omongan atau isu-isu yang diada-adakan oleh golongan pengingkar ini!        

Jangan lagi pada malam atau bulan-bulan yang dimuliakan oleh Allah swt. yang masih ada dalilnya, pada hari-hari biasa saja tidak ada larangan untuk sholat sunnah atau berdo’a kepada Allah swt., selama sholat sunnah Muthlaq (yang hanya berniat sholat saja) tidak dikerjakan pada waktu-waktu yang dilarang oleh agama. (ump. setelah sholat Shubuh, setelah sholat ‘Ashar dan lain sebagainya yang disebutkan dalam kitab-kitab fiqih). Firman Allah swt.dalam surat (Al- Mu’min :60); “..Berdo’alah padaKu Aku akan mengabulkannya” juga firman-Nya dalam surat Thaahaa:14; ‘..Dan dirikanlah sholat untuk mengingat-Ku’. Dalam ayat ini Allah swt. tidak membatasi lafadh/kalimat do’a yang harus dibaca, begitu juga Dia tidak membatasi hanya sholat wajib saja, malah ada firman Allah swt. agar manusia sholat sunnah tahajjud (sholat waktu malam) atau amalan-amalan sunnah disamping amalan wajibnya!       

Perkataan Imam Nawawi: “Bahwa shalat satu bentuk ritual yang bid’ah dimalam itu (malam nishfu) adalah shalat 100 rakaat, hukumnya adalah bid’ah. Sama dengan shalat raghaib 12 rakaat yang banyak dilakukan di bulan Rajab, juga shalat bid’ah. Keduanya tidak ada dalilnya dari Rasulullah saw. Beliau (Imam Nawawi) mengingatkan untuk tidak terkecoh dengan dalil-dalil dan anjuran baik yang ada di dalam kitab Ihya’ Ulumiddin karya Al-Ghazali, maupun di dalam kitab Quut Al-Qulub karya Abu Talib Al-Makki”. Jelas yang dimaksud Imam Nawawi ialah sholat bentuk ritual yang ditentukan 100 raka’at dimalam nishfu Sya’ban dan sholat Raghaib 12 raka’at di bulan Rajab itu Bid’ah (rekayasa yang baru) yang tidak ada dalilnya dari Rasulallah saw. Tetapi beliau tidak mengatakan bahwa amalan itu ‘Bid’ah yang Haram dikerjakan’!        

Berapa banyak riwayat yang menyebutkan amalan ibadah sholat sunnah atau bacaan-bacaan didalam sholat yang diamalkan para sahabat yang sebelum dan sesudah nya tidak pernah diperintahkan oleh Rasulallah saw. atau tidak ada dalilnya dari beliau saw.. Begitu juga Sayyidina ‘Umar bin Khattab ra. pernah mengatakan ‘Bid’ah yang nikmat’ pada sholat Tarawih, Siti Aisyah ra sendiri pernah membid’ahkan sholat Dhuha yang beliau kerjakan dan lain sebagainya, yang telah kami kemukakan pada bab Bid’ah dibuku ini. Tetapi tidak ada satu pun dari para sahabat yang mengatakan bahwa kata-kata ‘Bid’ah’ itu otomatis Haram, Munkar yang harus diperangi. Pikirkanlah !       

Sholat sunnah Muthlaq itu boleh dilakukan kapan saja (kecuali waktu-waktu tertentu yang dilarang) dan berapa saja jumlah raka’at yang di kehendaki. Sholat sunnah itu menurut ilmu Fiqih dibagi menjadi dua macam yaitu Muthlaq dan Muqayyad. Untuk sunnah Muthlaq cukuplah orang berniat shalat saja (sholat yang tidak ada namanya).        
Imam Nawawi –rahimahullah– sendiri berkata: “Seseorang yang melakukan sholat sunnah dan tidak menyebutkan berapa raka’at yang akan dilakukan dalam shalatnya itu, bolehlah ia melakukan satu raka’at lalu bersalam dan boleh pula menambahnya menjadi dua, tiga, seratus, seribu raka’at dan seterusnya.  Apabila seseorang sholat sunnah dengan bilangan yang tidak diketahuinya, lalu bersalam, maka hal itupun sah pula tanpa perselisihan pendapat antara para ulama. Demikianlah yang telah disepakati oleh golongan kami (madzhab Syafi’i)  dan diuraikan pula oleh Imam Syafi’i didalam Al-Imla”. (Dinukil dari kitab Fiqih Sunnah Sayid Sabiq ,terjemahan Indonesia, jilid 2 cet.kedua th.1977 hal .11)       

Pada halaman 12 dikitab yang sama diatas ini ditulis, bahwa Imam Baihaqi meriwayatkan dengan isnadnya, “bahwa Abu Dzar ra. melakukan sholat (sunnah) dengan raka’at yang banyak, dan setelah salam ditegur oleh Ahnaf bin Qais ra., katanya: ‘Tahukah anda bilangan raka’at dalam sholat tadi, apakah genap atau ganjil’? Ia (Abu Dzar) menjawab: ‘Jikalau saya tidak mengetahui berapa jumlah raka’atnya, maka cukuplah Allah mengetahuinya’, sebab saya pernah mendengar kekasihku Abul Qasim (Nabi Muhammad saw.) bersabda –sampai disini Abu Dzar menangis– kemudian dilanjutkan pembicaraannya; Saya mendengar kekasihku Abul Qasim bersabda: ‘Tiada seseorang hamba pun yang bersujud kepada Allah satu kali, melainkan diangkatlah ia oleh Allah sederajat dan dihapuskan daripadanya satu dosa’ “. (Menurut al-Albani dalam kitabnya ,terjemahan bahasa Indonesia, Tamamul Minnah jilid 1 hal. 292 cet.pertama th.2001 bahwa hadits ini ada dalam shohih al-Baihaqi dan didalam- nya tidak ada perawi yang diperselisihkan, begitu juga imam Ahmad telah meriwayatkan hadits ini).Adapun mengenai sholat sunnah Muqayyad itu terbagi dua:       

Pertama: Yang disyariatkan sebagai sholat-sholat sunnah yang mengikuti sholat fardhu/wajib dan inilah yang disebut sholat Rawatib (ump..sholat-sholat sunnah Fajr, Zhuhur, ‘Ashar, Maghrib dan Isya’).       

Kedua: Yang disyariatkan bukan sebagai sholat sunnah yang mengikuti sholat Fardhu/wajib (ump. Sholat Tasbih, sholat Istisqa dan lain-lain).       

Abu Dzar ra. –sahabat Nabi saw. yang terkenal– telah melakukan sholat sunnah Muthlaq (yang hanya niat sholat saja), tanpa mengetahui berapa jumlah raka’at yang beliau kerjakan itu. Tidak ada para sahabat yang menegor beliau dan mengatakan bahwa amalan itu Bid’ah munkar, Haram dan sebagainya! Abu Dzar ra. juga menyebutkan suatu dalil umum yang membolehkan amalan sholat sunnah itu berapa pun jumlahnya yaitu ‘Tiada seseorang hamba pun yang bersujud kepada Allah ....sampai akhir hadits’. Mengapa justru golongan pengingkar ini berani menvonnis amalan-amalan sholat sunnah Muthlaq pada malam nishfu sebagai bid’ah munkar, haram dan lain sebagainya?      

Imam Nawawi sendiri telah mengatakan bahwa orang dibolehkan/sah sholat sunnah satu, dua, sampai ratusan raka’at dengan satu kali salam bila sholat sunnah itu tidak disebutkan berapa raka’at sebelumnya. Imam yang cukup terkenal ini pun tidak mengingkari kebolehan orang untuk sholat sunnah (Mutlaq) terserah berapa raka’at yang dia kehendaki, mengapa golongan pengingkar ini berani membid’ahkan munkar atau haram orang yang mengamal kan ibadah sholat sunnah Muthlaq dimalam yang mulia yaitu nishfu Sya’ban? Apakah Abu Dzar, Imam Nawawi itu bodoh, tidak mengerti hukum fiqih hanya ulama golongan peng ingkar saja yang pandai,cerdas dan menguasai ilmu fiqih?       

Jadi para imam yang dikemukakan oleh golongan pengingkar tadi hanya mencela atau memunkarkan kepada orang yang meriwayatkan hadits atas nama Rasulallah saw. karena beliau saw. –menurut penelitian mereka– tidak pernah menganjurkan amalan-amalan ibadah tertentu pada malam nishfu atau pada bulan Rajab. Jadi bukan amal ibadahnya yang dicela atau disesatkan.       
Umpama saja kita tolerans dengan golongan pengingkar yaitu membenar- kan paham mereka bahwa para imam itu benar-benar mengharamkan amalan ibadah pada bulan Sya’ban atau Rajab. Ini pun bukan suatu dalil yang harus di-ikuti karena dalam syari’at tidak ada pengharaman sholat sunnah dengan bacaan-bacaan tertentu dalam sholat tersebut. Malah sebaliknya banyak dalil yang menganjurkan agar kita memperbanyak ibadah sunnah dan berdzikir serta banyak riwayat yang menulis bahwa para sahabat mengamalkan amalan bid’ah hasanah yaitu menambah bacaan dalam sholat fardhu yang tidak pernah dicontohkan atau diperintahkan oleh Rasulallah saw..  (silhakan rujuk kembali pada bab Bid’ah dibuku ini) Wahai saudaraku, janganlah seenaknya menghukum amalan ibadah sunnah atau mubah sebagai bid’ah munkar atau haram dikerjakan! Menghukum sesuatu amalan nafilah sebagai bid’ah munkar atau haram harus menunjuk kan nash yang khusus atas keharaman amalan tersebut, jadi tidak seenaknya sendiri! Bila kalian tidak mau mengamalkan amalan-amalan mubah ini, silahkan, itu urusan kalian tidak ada orang yang mencela hal itu, karena tidak lain semuanya itu hanya amalan sunnah atau mubah! Cukup banyak dalil baik dari firman Allah swt. mau pun dari sunnah Rasulallah saw. agar manusia selalu berbuat kebaikan, dan setiap kebaikan walau pun kecil akan dicatat pahalanya! Apakah sholat sunnah atau do’a kepada Allah swt. itu bukan termasuk kebaikan?

Ibnu Taimiyyah menghidupkan Nishfu Sya’ban dengan amalan yang khusus.
Ibnu Taimiyah mengkhususkan amalan sholat pada nishfu Sya’ban dan memujinya: Berkata Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Majmu’ Fatawa pada jilid 24 halaman 131 mengenai amalan Nishfu Sya'ban sebagai berikut:

إذا صلَّى الإنسان ليلة النصف وحده أو في جماعة خاصة كما كان يفعل طوائف من المسلمين فهو: حَسَنْ

Artinya: "Apabila seorang itu menunaikan sholat pada malam Nishfu Sya'ban secara individu atau berjamaah secara khusus sebagaimana yang dilakukan oleh sebilangan masyarakat Islam maka hal itu adalah Baik".




Lihat bagaimana Ibnu Taimiyah sendiri memuji siapa yang menghidupkan amalan khusus pada malam Nishfu Sya'ban yaitu dengan menunaikan sholat sunnah pada waktu itu baik secara perseorangan mau pun secara berjama’ah,  Ibnu Taimiyah menyifatkan amalan khusus itu sebagai Hasan/ Baik.

Pada halaman 132 dikitab yang sama itu, Ibnu Taimiyyah mengakui adanya hadits yang mengkhususkan untuk ibadah sholat malam Nishfu Sya’ban:

وأما ليلة النصف - من شعبان - فقد رُوي في فضلها أحاديث وآثار ، ونُقل عن طائفة من السلف أنهم كانوا يصلون فيها، فصلاة الرجل فيها وحده قد تقدمه فيه سلف وله فيه حجة (( فلا ينكر مثل هذا )) ، أما الصلاة جماعة فهذا مبني على قاعدة عامة في الاجتماع على الطاعات والعبادات

Artinya: "(Berkenaan malam Nishfu Sya'ban) maka telah diriwayatkan mengenai kemuliaan dan kelebihan Nishfu Sya'ban dengan hadits-hadits dan atsar, di nukilkan dari golongan Salaf (orang-orang dahulu) bahwa mereka menunaikan sholat khusus pada malam Nishfu Sya'ban, sholatnya seseorang pada malam itu secara perseorangan sebenarnya telah dilakukan oleh ulama Salaf dan dalam perkara tersebut terdapat hujjah/dalil maka jangan di-ingkari, manakala sholat secara jama’ah (pada malam nishfu sya'ban) adalah dibina atas hujah/ dalil kaedah pada berkumpulnya manusia dalam melakukan amalan ketaatan dan ibadat". Dalam kitabnya Iqtido' As-sirot Al-Mustaqim pada halaman 266 beliau mengatakan:

ليلة النصف مِن شعبان. فقد روي في فضلها من الأحاديث المرفوعة والآثار ما يقتضي: أنها ليلة مُفضَّلة. وأنَّ مِن السَّلف مَن كان يَخُصّها بالصَّلاة فيها، وصوم شهر شعبان قد جاءت فيه أحاديث صحيحة. ومِن العلماء من السلف، من أهل المدينة وغيرهم من الخلف: مَن أنكر فضلها ، وطعن في الأحاديث الواردة فيها، كحديث:[إن الله يغفر فيها لأكثر من عدد شعر غنم بني كلب] وقال: لا فرق بينها وبين غيرها. لكن الذي عليه كثيرٌ مِن أهل العلم ؛ أو أكثرهم من أصحابنا وغيرهم: على تفضيلها ، وعليه يدل نص أحمد - ابن حنبل من أئمة السلف - ، لتعدد الأحاديث الواردة فيها، وما يصدق ذلك من الآثار السلفيَّة، وقد روي بعض فضائلها في المسانيد والسنن

Artinya: "(Malam Nishfu Sya'ban) telah diriwayatkan mengenai kemuliaannya dari hadits-hadits Nabi dan pada kenyataan para sahabat telah menjelaskan bahwa itu adalah malam yang mulia dan dikalangan ulama As-Salaf yang mengkhususkan malam Nishfu Sya’ban dengan melakukan sholat khusus padanya dan berpuasa bulan Sya'ban, ada pula hadits yang shohih. Ada dikalangan Salaf (orang yang terdahulu), sebagian dari ahli Madinah dan selain mereka sebagian dikalangan Khalaf (orang belakangan) yang mengingkari kemuliannya dan menyanggah hadits-hadits yang diriwayatkan padanya seperti hadits: 'Sesungguhnya Allah swt. mengampuni padanya lebih banyak dari bilangan bulu kambing bani kalb'. Akan tetapi disisi kebanyakan ulama ahli Ilmu atau kebanyakan ulama Madzhab kami dan ulama lain adalah memuliakan malam Nishfu Sya’ban, dan yang demikian adalah kenyataan Imam Ahmad bin Hanbal dari ulama Salaf, karena cukup banyak hadits yang menyatakan mengenai kemuliaan Nishfu Sya'ban, begitu juga hal ini benar dari kenyataan dan kesan-kesan ulama As-Salaf, dan telah dinyatakan kemuliaan Nishfu Sya'ban dalam banyak kitab hadits Musnad dan Sunan". Demikianlah pendapat Ibnu Taimiyyah mengenai bulan dan malam Nishfu Sya'ban.

Jelas sebagai bukti bahwa Ibnu Taimiyah sendiri mengakui dan tidak mengingkari kebaikan amalan khusus pada nishfu Sya’ban termasuk didalamnya sholat sunnah. Belliau juga mengatakan bahwa amalan ibadah pada malam nishfu Sya’ban dikerjakan oleh para Salaf. Tetapi sayangnya golongan peng- ingkar yang mengaku sebagai penerus akidah Ibnu Taimiyyah ini telah meng haramkan dan membid’ahkan mungkar amalan dalam bulan dan nishfu Sya’ban ini? Mereka hanya menyebutkan kata-kata Ibnu Taimiyyah yang sepaham dengan mereka tetapi kata-kata Ibnu Taimiyyah yang tidak sepaham, mereka kesampingkan! Apakah mereka ini juga berani membid’ahkan mungkar Ibnu Taimiyyah? Apakah mereka ini akan merubah atau mengarti kan kata-kata Ibnu Taimiyah yang sudah jelas tersebut –sebagaimana kebiasaan mereka– sampai sesuai dengan paham mereka?       

Al-Qasthalani dalam kitabnya, Al-Mawahib Alladunniyah jilid 2 halaman 59, menuliskan bahwa para tabi’in di negeri Syam seperti Khalid bin Mi’dan dan Makhul telah berjuhud (mengkhususkan beribadah) pada malam nishfu sya’ban. Maka dari mereka berdua orang-orang mengambil panutan. Selanjutnya Al-Qasthalany berkata perbedaan pendapat para ulama Syam hanya dalam bentuk cara ibadah pada malam nishfu Sya’ban. Ada yang mengamalkan dimasjid secara berjama’ah yaitu pendapat Khalid bin Mi’dan, Luqman bin ‘Amir  dan disetujui oleh Ishaq bin Rahawaih. Ada lagi yang mengamalkan sendiri-sendiri dirumah atau ditempat lainnya, pendapat ini disetujui oleh Al-Auza’i dan para ulama Syam umumnya.

Menghidupkan malam nisfu sya`ban dengan amalan ibadah itu telah disepakati pula oleh para ulama madzhab antara lain:
Ibnu Abidin Al hanafi dalam kitab : Hasyiah Roddul Muhtar Juz 2 hal 25 ;
Ibnu Najem Alhanafi  dalam kitab Bahru Roiq juz 2 hal 56.2-
Imam Dasyuqi Almaliki dalam Kitab Assyarhul kabir juz 1 Hal 399.3-
Imam Syafii dalam Kitab Umm juz 2 hal 264,
Alkhatib Syirbini dalam kitab Mughni Muhataj juz 1 hal 591.4-
IbnuTaimiyyah Alhambali dalam kitab Majmu` Fatawa juz 23 hal 132
Ibnu Rajab Al hambali dalam Kitab Lathiful Ma`arif hal 263 dan lain-lainnya.

Masih banyak lagi pendapat para ulama yang membolehkan amalan ibadah khusus pada malam nishfu Sya’ban karena merupakan amalan kebaikan yang taqarrub/ mendekatkan diri kepada Allah swt. Dengan demikian para ulama salaf dari zaman dahulu sampai zaman sekarang telah mengakui adanya amalan-amalan ibadah pada malam nishfu Sya’ban. Wallahu A’lam

Sebagai manusia yang penuh kekurangan dan kesalahan, kami mengharap masukan dan saran dari

segenap para pembaca budiman silahkan kirim email:  syafii_ali55@yahoo.com.

Sumber :
http://www.everyoneweb.com/tabarruk/  dan
http://islam-dan-sains.blogspot.com/p/bab-10-amalan-amalan-nishfu-syaban.html